Baca
artikel selengkapnya di SEJARAH ASYURA
tafhadol
Oleh: Dr. Slamet Muliono
Penulis Bina Qalam Indonesia
KEBEBASAN beragama menjadi sebuah tameng bagi Syiah dalam menyebarkan ajarannya di Indonesia. Gerakan Syiah memperoleh angin setelah Komnas HAM mengirim surat teguran No. 007/TIM-KBB/X/2015 yang mempermasalahkan Surat Edaran (SE) Walikota Bogor. Kemudian, suasana menghangat ketika ANNAS mengirim surat teguran kepada Komnas HAM dan meminta untuk menarik surat teguran kepada Walikota itu dan meminta maaf kepada Walikota Bogor dan umat Islam.
Dalam pandangan ANNAS, surat teguran Komnas HAM dianggap sebagai sebuah kecerobohan dan tidak mengetahui akar permasalahan (salam-online. Kamis, 29/10/2015)
Syiah mulai gerah setelah dirinya mengalami tekanan dan larangan.Tekanan terhadap dirinya dilakukan Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang mendeklarasikan anti Syiah. Larangan Wali Kota Bogor Bima Arya bagi Syiah dalam perayaan Asyura.
Dua hal ini membuat Organisasi Syiah Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE) mengancam akan melaporkan ANNAS ke Polda Metrojaya dan Walikota Bogor ke PTUN. ANNAS dianggap melakukan diskriminasi dan genosida. Walikota dianggap telah melarang kebebasan warganya untuk beribadah.
Perkembangan menarik yang patut dicermati bahwa Komnas HAM dipercaya sebagai pihak yang bisa menjembatani dan menyampaikan aspirasi kelompok Syiah kepada Walikota Bogor. Peluang Syiah untuk menyebarkan agamanya, dengan dalih kebebasan beragama, dan berlindung pada Komnas HAM merupakan cara yang cerdik. Tetapi ANNAS berpandangan bahwa Syiah merupakan ajaran yang menyimpang.
Hal itu diperkuat dengan pernyataan Sylviani Abdul Hamid, Direktur Eksekutif SHN Advocacy center, yang mengingatkan para pejabat agar tidak lupa ingatan dan keluar dari konteks hukum, karena Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan bahwa ajaran Syiah menyimpang dari ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 1787 K/Pid/2012 terkait dengan kasus Tajul Muluk di sampang beberapa tahun lalu. [Baca: SNH Advocacy Centre: Mahkamah Agung Telah Putuskan Syiah Menyimpang]
Dua lembaga keagamaan telah memberi justifikasi bahwa Syiah merupakan gerakan sesat dan memiliki perbedaan yang jauh dari Islam di Indonesia. Rekomendasi Rakernas MUI 4 tanggal 7 Maret 1984 tentang perlunya waspada terhadap menyusupnya paham Syiah yang memiliki perbedaan-perbedaan dengan ajaran Islam Ahlussunnah. Surat resmi PBNU No. 724/A.II.03/10/1997 yang mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh propagandis-propagandis Syiah.
Bahkan yang terbaru bahwa Majelis Mujahidin menganggap surat teguran Komnas HAM kepada Walikota merupakan sikap diskriminatif, paranoid, dan tidak professional. Dukungan Majelis Mujahidin itu tertuang dalam surat no. 101/LT MM/I/1437 tentang dukungan kepada Walikota Bogor dan tanggapan surat Komnas HAM.
Bahwa dalam hukum positif Indonesia, kebebasan beragama sangat dibatasi oleh aturan yang dipergunakan dan diterapkan oleh oleh suatu negara. Sehingga tidak bisa menggunakan dalih kebebasan beragama tetapi justru mengganggu ketertiban dan stabilitas suatu negara atau komunitas. Hal itu sebagaimana dikatakan Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, bahwa HAM tidak bisa dijadikan landasan perlindungan kalau tidak sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan.
”Hak Asasi Manusia yang berlaku di negara kita ini tidak sama dengan HAM yang ada di negara sekuler. Tidak tepat kalau pelaku maksiat berlindung di balik tameng Hak Asasi Manusia. HAM di negeri kita harus berkesesuaian dengan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa.” [Baca: Hakim MK: Tindakan Bima Arya Sudah Sesuai Aturan Kenegaraan]
Dengan demikian, apabila Syiah menggunakan dalih kebebasan beragama dan berkeyakinan, kemudian melakukan penyebaran agama, pada saat yang sama terjadi keresahan komunitas agama tertentu. Maka, dalam konteks ini kita bisa mengkategorikan Syiah sebagai kelompok yang melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama. Karena keyakinan mereka dan amaliyah mereka yang tidak sesuai dan menyinggung serta meresahkan komunitas itu.
Ketika dilarang oleh warga, kelompok ini seringkali berlindung di balik Hak Asasi Manusia. Hal ini tidak berbeda dengan kelompok-kelompok yang menyimpang, pelaku maksiat di negara ini yang tak terhitung banyaknya dan bahkan difasilitasi, seperti lokalisasi ataupun juga tempat-tempat penjualan miras seperti klub malam. Ketika ditutup paksa, mereka langsung berkoar mengatasnamakan Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM memang sedang menguji sebuah teori harmonisasi. Teori itu mengandaikan kehidupan sosial yang harmonis dimana komunitas Sunni dan Syiah bisa hidup berdampingan. Namun fakta di sekitar kita menolak tesis Komnas HAM itu. Keberadaan Syiah diandaikan bisa menjadi contoh pelaku keebebasan beragama dan bisa hidup berdampingan dengan kelompok Sunni.
Tetapi masyarakat yang diandaikan itu tidak cocok dengan sepak terjang ideologi Syiah yang massih ada bekasnya di negara Irak, Yaman dan Suriah. Di tiga negara ini, Syiah tidak berhasil menghapus jejaknya sehingga terjadi disintegrasi bangsa dan konflik yang terus berlangsung hingga saat ini. Syiah telah dicatat sebagai ideologi dan ajaran yang membahayakan eksistensi negara.
Komunitas Sunni Indonesia membayangkan dan khawatir terhadap peristiwa yang menimpa tiga negara di Timur Tengah itu bisa terjadi dan berulang di Indonesia. Komnas HAM memang sedang bereksperimen untuk melindungi hak sebuah kelompok yang ingin mengekspresikan keyakinan dan keberagamaan. Tetapi komunitas yang menerapkan kebebasan beragama itu terbukti telah meninggalkaan jejak buruk dan traumatik.
Tidak bolehkah bila komunitas Sunni di Indonesia memiliki kekhawatiran adanya disintegrasi bangsa sebagaimana yang telah terjadi di negeri Irak, Yaman, dan Suriah? Faktor dan bibit yang membuat disintegrasi bangsa itu adalah ajaran Syiah.
Post A Comment:
0 comments: